Header Ads

Film Atas Nama Percaya: Tentang Bagaimana Kita Percaya


Belakangan pembahasan agama leluhur atau penghayat kepercayaan kembali menemukan momen. Diskusinya bersamaan dengan kembalinya pembahasan hak-hak masyarakat sipil disamping menguatnya peran dominan negara. Meski peghayat kepercayaan atau agama leluhur telah mendapat pengakuan negara, yang menjadi masalah selanjutnya mengartikulasikan pada kelompok-kelompok masyarakat yang lain tentang keberadaan kelompok ini.

Dengan cara apa mengartikulasikannya dan bagaimana mengartikulasikannya inilah titik soal. Di tengah penguatan politik identitas, dan, tentunya, identitas itu menjadi acuan menilai segala sesuatu.

Film dokumenter Atas Nama Percaya adalah cara bagaimana mengartikulasikan pada masyarakat. Film yang durasinya kurang lebih 36 menit ini menampilkan bagaimana eksistensi penghayat kepercayaan atau agama leluhur bertahan dalam rezim administrasi negara dan “ideologi dominan”.

Film ini diputar dan didiskusikan di berbagai wilayah, termasuk di kampus-kampus. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado, melalui Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) dan Pusat Studi Masyarakat Muslim di Minahasa (PS3M), juga melakukan pemutaran dan diskusi film dokumenter ini.

Atas Nama Percaya (ANP) adalah seri pertama dari Indonesian Prulalities hasil kolaborasi Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS )UGM, Paradee School of Boston University, dan Watchdoc.
Watchdoc memiliki reputasi tersendiri. Rentetan film dokumenternya memperlihatkan fakta-fakta masyarakat yang sering abai dari pemberitaan media mainstream. Dalam beberapa film dokumenter Watchdoc merekam problematika warga negara Indonesia. Problematika antara warga negara dengan negara juga problematika rakyat dengan korporasi. Salah satunya yang terkenal adalah Sexy Killers.

ANP adalah rekam jejak komunitas Perjalanan di Jawa Barat dan Merapu di Nusa Tenggara Timur. Kelompok kecil di tengah pasang-surut sejarah Indonesia. Di tengah dominasi dan ekspansi agama formal di ruang publik dan di sistem.
Saya juga terlibat dalam kegiataan itu. Diskusi panjang dengan berbagai macam perspektif. Dari sudut antropologi – yang tidak menggunakan definisi agama karena cenderung otoritatif dan sempit dalam definisinya, ada dari peneliti kearifan lokal, dan beberapa dosen dengan agama sebagai yang-memutuskan.

Ada beberapa problem yang ingin saya ajukan dalam pemutaran ANP:
Pertama: problem bahasa. Salah seorang dosen mengajukan penilaian menggunakan agama. Singkatnya tidak bisa diterima karena penghayat kepercayaan bukanlah agama. Yang diakui negara hanyalah agama – meskipun perdebatannya naik-turun di level kebijakan dan sudah diakui tapi tidak berarti tidak ada pemaknaan kembali.

Problem bahasa yang saya maksud adalah keterjebakkan pada definisi agama. Agama yang dimaknai adalah agama-agama resmi atau agama dalam arti agama yang sedang dipeluk. Bisa saja agama dalam definisi pemeluk agama leluhur juga berbeda. Sehingga yang menjadi problem sebenarnya hanyalah mengenai definisi agama. Perdebatan agama, dalam persoalan ini, tidak inheren dalam agama itu, tidak memperdebatkan syarat mungkin dari agama bisa dikatakan sebagai agama. Esensi dari sesuatu dikatakan sebagai agama.

Redefinisi agama adalah mungkin dengan keterbatasan definisi agama.
Yang kontras dari agama dan agama leluruh/penghayat kepercayaan adalah perbedaan dari pemaknaan definisi tersebut. Definisi yang tidak berangkat dari esensi sesuatu sebagai syarat mungkin sesuatu dikatakan sebagai sesuatu.
Jika Tuhan sebagai syarat sesuatu dikatakan sebagai agama, agama kepercayaan juga memiliki Pencipta yaitu Pencipta dalam pemaknaan mereka.

Kedua: maksud dari film dokumenter. Semua dari kita bisa memberi penilaian. Namun harus juga dimaknai maksud dari dibuatnya film dokumenter yang merekam jejak perjuangan eksistensi penghayat kepercayaan. Tidak berlaga seperti turis yang memandang kearifan lokal dengan mengharu-biru dan memori sinis akan modernitas. Maksud dari film ini adalah mengartikulasikan kepada penonton dan ikut memperjuangkan eksistensi penghayat kepercayaan. Inilah sikap yang menjadi konsekuensi logis.

Dalam demokrasi radikal semua nilai-nilai yang dipercaya diperdebatkan. Semua mengartikulasikan pada semua. Dialog argumentasi adalah jalan. Persoalaan di Indonesia adalah problem artikulasi, tidak memberi ruang pada dialog. Dialog dan artikulasi yang mesti menjadi jalan perjuangan.

Ketiga: Memahami secara esensial apa itu toleransi. Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Kalimat yang sering lepas dari makna terdalamnya. Yang dalam sikapnya adalah toleransi; dalam tindakannya, sering dimaknai, kegitan bersama antar manusia.

Namun, kegiatan dalam tema toleransi hanyalah toleransi di antara agama-agama formal. Sebagai syarat pintu masuk memang harus, tapi menjadi masalah jika toleransi yang dimaknai malah memberi batas pada kelompok lain. Frame toleransi adalah kemanusiaan. Yang konkret dari kemanusian adalah tubuh manusia. Siapapun adalah lebih penting dibanding politik.

Problemnya, dalam tema toleransi terkadang kemanusiaan yang dimaksud tidaklah kepada semua orang. Sulit kita menemukan muslim (yang giat memperjuangkan kemanusiaan) membuat kegiatan bersama LGBT sebagai upaya memperjuangkan hak mereka di ruang publik yang penuh dengan lebel negatif. Maksud saya, kembali menelaah makna dari kemanusiaan menjadi penting.

Manusia terkadang berbuat pada apa yang tidak ia ketahui.

Fahmi, GUSDURian Manado

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.