GCDS Hadir Atas Kesadaran Bersama Tentang Persaudaraan
Desember
2016 lalu, Saya dan seluruh teman yang tergabung di komunitas Gerakan Cinta
Damai Sulut (GCDS) menggelar Festival Keragaman. Pagelaran tersebut merupakan
buah dari refleksi kritis Kami terhadap kondisi Indonesia
saat itu (dan hingga kini) yang mengalami berbagai persoalan. Lebih spesifik,
persoalan dimaksud tertuju pada peristiwa-peristiwa yang mengancam kebhinekaan,
UUD 45, Pancasila dan keutuhan NKRI. Memang, yang cukup menarik perhatian saat itu adalah
bunyi-bunyian politik ibu kota hingga menyeret isu-isu keragaman diberbagai
daerah. Benar-benar Indonesia terlihat gaduh, ribut dan sibuk. Berita TV,
Koran, hingga medsos menjadi tidak asing dengan informasi-informasi yang
menguras banyak energi.
![]() |
Sebagian kawan GCDS selesai rapat di Lentera Caffe |
Jika ditarik lagi, organisasi dan person yang tergabung di GCDS juga secara kritis mau berkolaborasi dalam mengkampanyekan pesan-pesan perdamaian merupakan wujud dari respon atas munculnya kelompok-kelompok intoleran yang dengan arogannya melakukan tindakan-tindakan brutal di tanah air. Peristiwa pengeboman di salah satu gereja Kota Samarinda hingga menewaskan seorang gadis cilik (Baca disini Soal Intan, Korban Bom), peristiwa konflik antar kampung di Basaan yang melibatkan kelompok berbeda identitas agama (Ini soal Basaan), hingga drama penolakan pembangunan masjid di kompleks Kampung Texas Kota Manado telah menjadi motivasi tersendiri bagi lahirnya komunitas ini.
Kendati
demikian, tidak bisa dipungkiri, kesadaran dan keinsafan internal semua pemeluk
agama dan aliran kepercayaan di Sulawesi Utara dalam mengelola keragaman,
menjaga kerukunan serta cinta perdamaian merupakan modal utama bagi hadirnya
GCDS. Sebut saja peristiwa-peristiwa yang disampaikan di atas tidak terjadi,
dapat dipastikan masyarakat Sulut akan terus melanjutkan tradisi basudara, bakudapa dan bacirita.
Masyarakat Sulut
menyadari bahwa setiap manusia itu bersaudara (basudara). Ditambah kalimat Torang Samua Basudara telah menjadi
sugesti mendarah daging bagi semua warganya. Sementara
istilah bakudapa dimaknai dengan
seringnya kelompok masyarakat yang saling berjumpa. Bakudapa bisa dimaknai dengan istilah silaturahim yang mempertemukan pribadi-pribadi dan kelompok berbeda
dalam satu momentum. Pertemuan tersebut semakin bermakna jika ada hal-hal yang
dikisahkan, diceritakan dan dishare dalam suasana kekeluargaan hingga penuh
keakraban. Yang terakhir ini mungkin diistilahkan bacirita.
Kembali ke
ikhwal Festival Keragaman. Intinya, kesuksesan kegiatan sebelumnya kembali akan
disemarakkan lagi tahun ini. Apalagi momen tersebut akan dibarengi dengan perayaan
1 tahun kebersamaan GCDS. Meski tidak lagi terjebak pada respon atas isu-isu
yang berkelindan, pagelaran tahunan kali ini menitik beratkan pada wujud dari
aksi, refleksi dan atraksi.
Sekali lagi, di Sulut, komunitas-komunitas
seperti GCDS hadir tidak saja karena menanggapi isu, melainkan sebagai wujud
kesadaran internal masyarakatnya.
Semalam,
kami mengadakan rapat membahas agenda akbar ini. Kita evaluasi. Hal-hal yang
perlu diperbaiki dari tahun sebelumnya menjadi pembahasan yang serius.
Perlu
diketahui, tahun lalu, kegiatan Festival Keragaman mendapat respon positif dari
banyak kalangan. Namun, tidak bisa dipungkiri adanya tanggapan-tanggapan miring oleh kelompok lain. Sebut saja yang sangat fenomenal ketika Saya menyanyikan qasidah
dan menggabungkan dengan nada Gloria (semacam lagu natal). Sontak memang
suasana kegiatan nampak antusias, tetapi di luar sana justru menganggap ini
sebagai sesuatu yang keliru. Ada juga ramai dalam pembicaraan, bahwa penampilan
grup qasidah itu dituduh negative karena banyak kalangan yang mengira kegiatan
tahun lalu itu berada di Gereja. Padahal, acara tersebut berada di gedung DPRD
Sulut. Memang anggapan itu muncul dikarenakan adanya hiasan pohon natal. Pastinya, Kami mempelajari segala kurang lebih kegiatan
tahun lalu.
Kali ini, kita akan mencoba untuk mendesainnya dengan baik,
agar tidak dibaca dan dipahami keliru bagi orang atau kelompok lain.
Bagaimana Festival
Keragaman yang digelar GCDS tahun ini? Tunggu saja … !
Tabea.
Taufik
Bilfagih,
Ketua
Lesbumi NU Sulut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar