Menyoal LDK
![]() |
Ilustrasi |
Belakangan ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) disibukkan oleh salah satu agenda yakni melakukan gerakan sosialisasi dan konter narasi untuk menyasar kelompok lembaga dakwah kampus (LDK). LDK selama ini dicurigai sebagai tempat bersemainya ideologi Islam radikal. Hal ini cukup beralasan karena salah satu ormas Islam yang telah dibubarkan pemerintah, yaitu Hizbut Tahrir (HT) sering memanfaatkan LDK sebagai media dakwah dan diseminasi gagasan mereka.
Selama ini, di berbagai kampus, HT berhasil menancapkan pengaruhnya dengan bermodus sebagai lembaga dakwah. Namun, bila ditilik lebih jauh, HT tak lain adalah sebuah gerakan politik yang berorientasi radikal. Dikatakan radikal karena dalam setiap geraknya, mereka tak segan mengutuk pemerintah dengan label kafir dan toghut. Sistem demokrasi dan Pancasila dinggapnya sebagai sistem kufur. Umat Islam yang tak sejalan dengannya pun tak segan dianggap kafir.
HT merindukan sistem khilafah karena dianggap telah menghantarkan Islam di puncak kejayaan selama berabad-abad. Padahal, sistem khilafah itu sendiri tidak sepenuhnya bersifat ilahiah karena penuh dengan intrik politik dan praktik kotor. Lucunya, para aktivis HT selalu mengutuk demokrasi namun mereka selalu menggunakan mekanisme demokrasi untuk memperjuangkan agendanya. Ketika hak-hak mereka dilucuti, mereka dengan lantang berteriak bahwa pemerintah tidak demokratis. Bukankah ini sebuah ironi?
Beberapa kali saya berdiskusi dengan aktivis HT di media sosial, mereka selalu menganggap bahwa segala masalah yang terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan khilafah. Lalu ketika saya bertanya balik, bagaimana langkah teknis menyelesaikan masalah pelik seperti kemacetan dan banjir di Jakarta? Jawabnya ya khilafah. Kalau saya desak terus soal teknis penyelesaiannya, palingan mereka akan memberi jawaban pamungkas: "beri saya waktu untuk berdiskusi dengan ustad saya."
LDK yang ada bertebaran di kampus-kampus harus diakui memiliki berbagai varian. Ada yang berada di bawah payung gerakan Tarbiyah, Salafi, dan HT. Tak jarang kelompok-kelompok tersebut saling berkontetasi untuk menguasai masjid kampus sekaligus menguasai kepemimpinan LDK agar ideologi mereka dapat menguasai wacana ruang publik di kampus. Ironisnya, organisasi mahasiswa yang dikenal moderat semacam PMII, IMM, dan HMI cenderung alfa untuk berkontestasi. Mereka terlalu sibuk dengan wacana dan diskusi yang terlalu "melangit" sehingga lupa turun ke masjid. Akhirnya, masjid kampus dikuasai oleh LDK.
Dari segi pencitraan, aktivis LDK banyak dikagumi oleh para sivitas akademika kampus karena mereka cenderung berperangai baik dan memiliki prestasi kampus yang cukup baik. Mereka berusaha menghindari demo khususnya kepada para birokrat kampus untuk menanamkan citra baik agar eksistensi mereka tetap didukung. Toh bila mereka berdemo, isu yang mereka angkat adalah soal isu Palestina atau pembantaian umat Islam di berbagai belahan dunia.
Walaupun kelompok LDK memiliki banyak varian tapi paling tidak mereka memiliki beberapa kesamaan. Sistem kaderisasi mereka banyak mengikuti pola usrah sebagaimana yang dilakukan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Pola ini cukup efektif menanamkan solidaritas dan soliditas di dalam kelompok mereka. Dalam menginjeksi semangat berjihad kepada para aktivisnya, kelompok LDK sering mengutip pernyataan Sayyid Qutb dan Maududi yang keduanya merupakan tokoh ideolog utama Islam radikal.
LDK umumnya alergi menerima pendapat diluar apa yang yang selama ini mereka yakini. Dengan kata lain, mereka cenderung eksklusif dan tidak terbuka pada dialog. Mereka merasa aoa yang diyakini kelompoknya sudah final.
Apa yang ingin dikatakan penulis dalam tulisan ini adalah LDK sudah seharusnya kembali ke khittah sebagai pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). LDK sudah harus menjadi penyebar Islam yang terbuka, toleran, dan inklusif.
Kalau LDK tak ingin dicurigai sebagai sarang terorisme, maka LDK sudah harus keluar dari zona nyamannya. Mereka sudah tak boleh lagi alergi berbicara kebhinekaan. Isu Kebhinekaan harus menjadi wacana mainstream dalam organisasi. Mereka tidak boleh lagi melulu bicara soal jihad, kafir, dan khilafah. LDK sudah wajib membuka diri dengan tulus dan tanpa kepura-puraan bekerjasama dengan organisasi lintas agama untuk mengusung isu kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat identitas primordial.
Membuka diri untuk bekerjasama dengan organisasi lintas agama bukanlah pendangkalan iman. Saya yakin dan percaya bahwa para aktivis LDK adalah individu-individu yang memiliki akidah yang kuat dan mapan. Kalau memang memiliki akidah yang kuat dan mapan, mengapa harus enggan menjalin hubungan dengan kelompok agama lain. Bukankah Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad adalah agama yang terbuka dengan perbedaan?
Membuka diri dengan organisasi lintas agama merupakan sebuah bentuk investasi bagi kelompok LDK. Tatkala terjadi aksi terorisme atas nama Islam, LDK tak perlu lagi sibuk mengklarifikasi bahwa Islam tidak mengajarkan terorisme karena rekan-rekan mereka di organisasi lintas agama dengan sendirinya akan membela Islam dari berbagai tuduhan negatif.
Mengapa generalisasi buruk terhadap sebuah agama sering terjadi? Karena para pengikutnya cenderung ekslusif dan tidak membuka diri untuk berdialog. Dalam hal ini, LDK sudah harus memainkan peran dan fungsinya sebagai pengawal dan penjaga kebhinekaan sekaligus sebagai penyebar Islam yang terbuka, toleran, dan inklusif.
LDK juga sudah seharusnya mengubah pola dakwahnya dari yang sifatnya indoktrinatif ke komparatif. Pola indoktrinatif selama ini sudah tidak efektif lagi dalam dakwah karena ia hanya akan menanamkan radikalisme dan fanatisme buta yang dapat berujung pada lahirnya aksi terorisme. Pola komparatif akan jauh lebih baik karena akan makin membuat umat menjadi lebih bijak dan arif dalam menyikapi perbedaan. Siapkah LDK melakukan itu?
Taufani, MA
Devisi Kajian PWNU Lesbumi Sulut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar