Cara Kerja Gus Dur Dalam Mengaktualisasikan Ketauhidan
Catatan ini adalah hasil resensi diskusi dalam rangkaian kegiatan Komunitas GUSDURian Sulawesi Utara yang berlangsung 12 Desember 2019 di kedai kopi Boothcamp, Malendeng Manado, dengan
pembahasan Ketauhidan.
Pematik Diskusi Rahmat Bilfaqih (Penggerak GUSDURian Manado/PWNU Lesbumi NU Sulut).
---------
Setiap sikap yang diambil seseorang
selalu ada ide atau gagasan yang mendorong tindakan tersebut. Begitu juga orang-orang
yang tergabung dalam Komunitas GUSDURian. Tindakannya bertolak dari pikiran dan
sikap Gus Dur.
Dari sekian luasnya corak berpikir Gus
Dur, dirangkum dalam Sembilan Nilai Utama, salah satunya, dan menjadi
fondasi, adalah ketauhidan.
Kenapa ketauhidan menjadi fondasi? Karena semua tafsir dan pemaknaan akan realitas berangkat dari pemahaman ketauhidan; selain menempatkan konsep ketauhidan sebagai hubungan antara manusia dengan Allah, menempatkan juga hubungan manusia dengan manusia dan dengan alam.
Jika ditelaah lebih dalam, ada beberapa fase untuk sampai pada ketauhidan. Tidak hanya percaya dengan ke-Esa-an Tuhan lalu beranggapan telah mengimplementasikan ketauhidan. Ketauhidan mesti ditempatkan dalam realitas; bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam.
Fase awal adalah percaya. Ini teruji di ruang spiritualitas berupa amaliah jasad: ibadah kita yang berkaitan dengan orang lain (akhlakul karimah) dan amaliah batin: amalan-amalan setelah sholat.
Pada fase yang benar-benar melakukan nilai spiritualitas akan masuk pada fase iman atau mu’min dan mengantar kita mengenal tauhid lebih dalam lagi. Tidak memaknai secara harafiah.
Orang yang sudah melewati fase-fase demikian dan telah sampai pada ketauhidan menjadi abadi dalam cara dia beragama. Segala sikap yang diambil, baik itu ucapan dan tindakan, merupakan ketauhidan itu sendiri. ketauhidan adalah cara beragama.
Gus Dur adalah orang yang sudah sampai pada fase demikian. Fase ketauhidan yang telah membatin dan menjasad. Orang-orang yang menafsirkan Gus Dur sering tidak mampu memahaminya dikarenakan Gus Dur melampaui manusia pada umumnya.
Ketauhidan yang dipahami Gus Dur sudah dipraktekkan dalam sikap-sikapnya semasa hidup. Ketauhidan yang selalu memahami konteks realitas tanpa sedikitpun meninggalkan spiritualitas. Karena bagi Gus Dur guru spiritualitas adalah realitas dan realitasnya adalah spiritualitas.
Realitas merupakan basyariah yang berhubungan langsung dengan lingkungan sekitar, sementara spiritualitas adalah batiniah yang berkaitan dengan Tuhan. Dalam konsepsi ketauhidan keduanya merupakan satu-kesatuan dalam satu tarikan sikap.
Memahami realitas dan menempatkan agama dalam kehidupan sosial membutuhkan fondasi sebagai tafsir yang jadi basis ideologi. Ketauhidan adalah basis yang menjadi nilai utama Gus Dur dalam melihat konteks.
Gus Dur hidup dalam tradisi pesantren. Para pendahulunya sangat “ketat” dari cara berpakaian (serban, dsb.). Gus Dur justru tampil seperti orang Islam di Indonesia pada umunya. Ini sejalan dengan konsep pribumisasi Islam.
Ketauhidan yang meng-Esa-kan Allah tidak perna menuhankan manusia. Ketauhidan yang menganggap semua manusia setara. Ketauhidan yang menempatkan pembahasan agama tidak “melangit” namun menjadikan agama yang membumi.
Fahmi & Zainuddin Pai - Penggerak GUSDURian Manado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar