Header Ads

Basaan dan Tradisi Kerusuhan; Antara Kriminalitas atau SARA ?

Anda bisa saja menyebut bahwa kerusuhan yang (sering) terjadi di Basaan, Minahasa Tenggara, hanyalah murni tindakan kriminal. Tapi, Anda juga harus menyadari bahwa faktanya para pelaku kerusuhan berasal dari dua identitas yang berbeda. Di lapangan, Anda bisa melihat mereka yang berseteru adalah antara penduduk yang tinggal di pantai versus orang ‘gunung’.

Masyarakat pantai biasanya direpresentasikan oleh penganut agama Islam, bekerja sebagai nelayan dan disebut orang laut. Sementara mereka yang tinggal di ‘gunung’, beridentitas sebagai pemeluk agama Kristen, bekerja sebagai petani dan disebut sebagai orang darat. Perbedaan latar belakang ini, pastinya punya pengaruh penting ketika terjadi gesekan horisontal. Oleh karenanya, hal ini sangat sensitif dan butuh penanganan serius. Terlepas latar pristiwa benar-benar karena ulah pemabukan dan kenakalan remaja, tetap saja kita jangan menutup mata bahwa faktanya selalu bentrok massa. Artinya, isu SARA menjadi empuk dalam keadaan seperti ini. Kerusuhan pun terjadi.

Dalam sosiologi, kerusuhan disebut riots atau violence. Biasanya para ilmuwan memulai tulisan mereka dengan mengungkapkan mitos-mitos yang dianggap menjelaskan tentang penyebab kerusuhan. Mitos-mitos itu diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama; kerusuhan disebabkan oleh rekayasa pihak tertentu. Ada sejumlah orang yang yakin betul bahwa berbagai kerusuhan itu digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Sebutlah ini teori konspirasi. Sebagai contoh, seorang pejabat tinggi mengatakan bahwa kelompok tertentu ingin menjatuhkan citra Indonesia di mata dunia. Dengan begitu, para calon investor mancanegara akan berangsur-angsur mundur.

Para pedagang, di mana pun, ingin mengembangkan usaha mereka dalam suasana politik yang stabil. Kelompok ini, yang sampai sekarang belum ditunjuk hidungnya, sedang berusaha menimbulkan kesan bahwa Indonesia sedang bergejolak. Kedua; kerusuhan disulut oleh rakyat yang tidak mau memperhatikan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Sebenarnya, para perusuh hanyalah penjahat biasa saja. Mereka itu ‘law-breakers’, para pelanggar hukum. Mereka adalah pengganggu keamanan yang menggunakan momen apa saja untuk melawan pemerintah. Momen itu bisa berupa pembangunan atau pengumuman hasil pilkada. Mitos ketiga; kerusuhan disebabkan oleh satu faktor tunggal. Menurut mitos ini, masih dalam sosiologi, kerusuhan disebabkan oleh bawaan sejak lahir dari prilaku manusia. Ada juga yang menyebutkan kerusuhan timbul akibat dari lemahnya iman dan ketaqwaan seseorang.

Dari ketiga mitos terebut di atas, nampaknya kerusuhan di Basaan lebih cenderung kepada teori terakhir. Jika saja masyarakat memiliki kepribadian yang kuat, serta selalu menyadari untuk hidup rukun dan damai, bahkan berani untuk tidak terjebak pada aktivitas meminum alkohol-yang berakhir pada pemabukan dan perbuatan kriminal, maka kerusuhan tidak akan terjadi. Dengan demikian, semua komponen harus bekerja sama untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Peristiwa kerusuhan (yang kesekian kalinya) pada Sabtu 26/03 di Basaan, memang murni tindakan kriminal, namun para perusuh termotivasi oleh karena perbedaan identitas tadi. Dapat dikatakan, masyarakat kita masih terjebak memahami bahwa mereka yang berbeda denganya sebagai “orang lain”.

Jika saja kita semua meyakini bahwa perbedaan itu adalah rahmat, maka setiap masalah selalu berakhir dengan musyawarah yang damai. Bagaimana mungkin kita akan ikut “berperang” atas nama agama hanya karena ulah para pemabuk? Haruskah kita “berjihad” demi mereka yang ibadahnya kurang, kejahatannya lebih? Mestikah kita membakar rumah warga hanya karena kenakalan remaja? Akhirnya, kita mengotori agama yang suci oleh karena perbuatan kita yang kotor. (***)

Taufik Bilfagih, S. Sos. Msi
(PWNU Lesbumi Sulut)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.